Seperti diketahui bahwa energi fosil yang dikenal dengan sebutan
minyak bumi dan/atau minyak mentah (crude oil) yang dapat diolah menjadi
berbagai jenis bahan bakar minyak (BBM) dan turunannya seperti bahan
kimia dari minyak bumi yang dihasilkan selama proses pemurnian di kilang
minyak bumi (CDU/Crude Destilling Unit) dan hasil sampingan lainnya
dari industri Petrokimia yang multi-manfaat.
Dalam tulisan ini
bukan maksud penulis mau menggurui mereka yang tugasnya memang
menggeluti kegiatan pemboran sumur migas dan pihak terkait lainnya, tapi
penulis hanya sharing informasi mengenai Blow Out (semburan liar) yang
sebenarnya tidak perlu terjadi apabila “KICK” diketahui lebih dini oleh
para petugas terkait.
Seperti diketahui bahwa Blow Out adalah
merupakan persoalan yang cukup serius dalam operasi pengeboran. Banyak
kerugian ditimbulkan oleh Blow Out apalagi bila sempat terjadi kebakaran
kalau cara penanggulangannya tidak menggunakan teknologi dan metode
khusus untuk semburan liar. Jadi sudah seharusnya setiap petugas
pengeboran memahami akan pengertian methode WELL CONTROL, sebagai suatu
teknik penggulangan hole problem di dalam suatu pengeboran.
Pada
dasarnya Well Kick dapat diatasi apabila diketahui sedini mungkin. Well
Kick bisa diterjemahkan secara bebas semacam keluarnya gas kecil dari
lobang bor sebagai akibat adanya keretakan di dalam formasi. Kick adalah
sebuah pendahuluan sebelum blow out terjadi, seandaimya tidak
secepatnya dicegah dan terkontrol maka terjadilah blow out sebenarnya
yang mengerikan bila sempat terjadi kebakaran apalagi sampai menelan
korban jiwa seperti ketika terjadi blow out dan kebakaran sumur migas
PT-29 di struktur Paluh Tabuhan Timur.
Blow Out Sumur PPJ 48 di Struktur Pulau Panjang
Pada
Jum’at, 30 September 2016 dini hari diinformasikan telah terjadi blow
out (semburan liar gas) sumur PPJ 48 saat dilakukan pekerjaan EOR
(enhanced oil recovery) yang merupakan suatu teknologi pengurasan minyak
tingkat lanjut di sumur-sumur tua dalam wilayah kerja PT Pertamina EP
Lapangan Pangkalansusu.
Ketika sedang dilakukan pemboran dengan
mempergunakan Rig-1, tiba-tiba terjadi semburan liar gas (blow out)
bertekanan tinggi hingga semburan melebihi menara bor (Rig).
Pada
kesempatan ini penulis tidak membahas tentang blow out yang terjadi di
struktur Pulau Panjang, Kecamatan Pangkalansusu, Kabupaten Langkat,
Provinsi Sumatera.
Disini penulis hanya mengingatkan bahwa Blow
Out (semburan liar) adalah merupakan persoalan yang cukup serius dalam
operasi pengeboran sumur migas. Banyak kerugian ditimbulkan oleh Blow
Out apalagi bila sempat terjadi kebakaran kalau cara penanggulangannya
tidak menggunakan teknologi dan metode khusus untuk semburan liar secara
baik dan benar.
Sebenarnya kalau kita mau jujur, seharusnya
setiap petugas pengeboran harus memahami betul mengenai pengertian
methode WELL CONTROL, sebagai suatu teknik penanggulangan hole problem
di dalam suatu pengeboran sumur migas.
Pada dasarnya Well Kick
dapat diatasi apabila diketahui sedini mungkin. Well Kick bisa
diterjemahkan secara bebas semacam keluarnya gas kecil dari lobang bor
sebagai akibat dari keretakan di dalam formasi. Kick adalah semacam
pendahuluan sebelum blow out itu terjadi, seandaimya tidak secepatnya
dicegah dan terkontrol, maka terjadilah blow out yang sebenarnya.
Menurut
sepenggal data yang penulis kutip dari manual BLOW OUT prevention and
WELL CONTROL Exxon Corpration ada disebutkan penyebab terjadinya Well
Kick selama pengeboran berlangsung, yaitu faktor lumpur sebagai drilling
properties adalah sangat dominan perannya untuk mengatur tekanan di
dalam hole (lubang sumur bor). Secara garis besar ada dua faktor yang
menyebabkan terjadinya Well Kick yaitu:
1. Tekanan di dalam hole lebih rendah daripada tekanan formasi.
2. Kemampuan formasi untuk mengalirkan cairan dan gas.
Kemampuan
formasi mengalirkan cairan adalah suatu sifat asli dari batuan formasi
yang kondisinya sulit untuk dikontrol. Bila suatu saat terjadi kick
(tendangan/tekanan, pen) akan menemukan bermacam-macam tanda seperti:
- Sewaktu
mencabut drill pipe (pipa bor), volume lumpur di dalam hole tetap tidak
berkurang (penuh terus) yang seharusnya berkurang sesuai volume drill
pipe yang diangkat.
- Ini bisa disebabkan oleh Swabbing Effect (lumpur terbawa kepermukaan lobang sewaktu drill pipe diangkat ke atas).
- Terjadi penambahan volume pada lumpur di dalam Mud Tank.
- Kecepatan
penetrasi yang menjadi naik, yaitu bila sedang terjadi pengeboran,
rotary table tiba-tiba berputar lebih cepat, disebabkan oleh karena
terjadinya pecahan-pecahan batu-batuan oleh cairan gas yang keluar.
- Terjadi kenaikan pada tekanan pompa dan secara perlahan tekanan tersebut turun, namun stroke pompa lumpur berubah naik drastis.
Dan
banyak lagi hal-hal lainnya yang lebih detail dan terinci, tapi paling
tidak hal di atas dapat menjadi masukan untuk rekan-rekan yang bertugas
di pengeboran agar dapat djadikan sebagai perbandingan dan patokan
dengan keadaan nyata yang mereka hadapi sehari-hari di lokasi
pengeboran.
Satu hal yang perlu penulis ingatkan bahwa kecerobohan
dan keteledoran dari faktor manusia di dalam melaksanakan tugas adalah
merupakan salah satu aspek penyebab kegagalan dalam menerapkan methode
dan sistem yang ada dan ini perlu mendapat perhatian serius dari para
supervisor lapangan dalam hal ini Tool Pusher dan Pemuka-pemuka Bor
terkait. Safety Fist harus benar-benar diutamakan oleh para pihak yang
terkait dalam pemboran sumur migas.
Kenapa hal di atas perlu
selalu diingatkan karena peringatan keselamatan dini memang harus
disampaikan secara berkesinambungan bagaikan seorang pramugari yang
selalu mengingatkan penumpang padahal penumpangnya sudah berulangkali
naik pesawat terbang. Sama halnya dengan safety briefing yang harus
disampaikan oleh petugas terkait kepada pengunjung yang akan memasuki
suatu lokasi terbatas walaupun para tamu itu adalah pegawai Pertamina
dari daerah lain. SOP (Standart Operation Prosedure) nya memang begitu.
Upaya
deteksi dini terhadap kemungkinan dan penyebab terjadinya blow out
ketika sedang melakukan pemboran sumur migas (minyak dan gas bumi) ini
sangat penting dipahami dan diingatkan untuk melawan lupa secara
terus-menerus agar pelaksanaan pemboran atau biasa disebut penajakkan
sumur migas dapat berjalan dengan baik dan benar.
Sebab menurut
pendapat penulis yang sudah beberapa kali meliput peristiwa blow out,
khususnya blow out dan kebakaran di sumur PT 29 Paluh Tabuhan Timur
puluhan tahun lalu di Desa Lubuk Kertang, Kecamatan Babalan (sekarang
Kecamatan Brandan Barat), Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara
apabila terjadi blow out yang sebenarnya, maka keadaan akan sangat sulit
di atasi apalagi kalau sempat terjadi kebakaran, dipastikan 1 (satu)
Rig (menara bor) akan hilang alias rusak terbakar dan kerugiannya akan
bertambah besar lagi bila kobaran api sulit dipadamkan. Petugas di
lapangan kejadian juga sulit dikoordinir karena masing-masing berusaha
menyelamatkan diri sebagai langkah safety first dari keadaan yang
mengerikan itu.
Jadi usaha yang terbaik yang harus dilakukan ialah
ketika gejala baru keluar seperti yang sudah penulis terangkan
sebelumnya. Insya Allah apabila pendeteksian dini tersebut sudah
dilakukan sesuai prosedur, maka blow out dapat dicegah dengan sistem
Well Control.
Selain itu untuk masih ada beberapa prosedur umum
yang harus dilakukan bila flow terjadi selama pengeboran sumur migas
berlangsung, yaitu:
- Segera angkat Kelly sehingga tool joint berada di atas rotary table.
- Stop Pompa lumpur.
- Pasang slip di drill pipe dan kemudian putar pelan Rotary Table.
- Lihat di flowline apakah ada aliran gas yang keluar bersama lumpur.
- Apabila
semua prosedur sederhana di atas sudah dilakukan dan tidak terdapat
hal-hal yang mencurigakan, maka pemboran bisa dilanjutkan. Pompa
dijalankan lagi dan sirkulasi sebagaimana biasa.
Tujuan
disirkulasikannya lumpur dalam menanggulangi flowing adalah untuk
mempertahankan tekanan di dasar lubang supaya tetap dan harus lebih
tinggi sedikit dari tekanan formasi yang sedang kick. Maksudnya adalah
untuk mencegah adanya tambahan cairan atau gas yang masuk kedalam hole
sewaktu sirkulasi.
Untuk mencegah tidak terjadi kick, ada beberapa
hal yang harus diingat dan dicatat dengan baik. Bahwa salah satu usaha
yang utama adalah mempertahankan Bottom Hole Pressure dengan sirkulasi
lumpur pada berat yang cukup. Ini terus dilakukan sampai keadaan
betul-betul normal, dan viscosity lumpur benar-benar dapat membentuk
lapisan dinding yang baik pada dinding lubang bor, sehingga dapat
mencegah keruntuhan-keruntuhan yang tidak diharapkan selama pengeboran
berlangsung (Sloughing Effect).
Contoh mengatasi Blow-out tercepat
Beberapa
peristiwa blow out besar yang pernah terjadi di wilayah kerja Pertamina
EP (terakhir blow out di struktur Pulau Panjang) penulis jadi teringat
saat mewawancarai Soegianto Wiryodiardjo seusai menangani penanggulangan
semburan liar gas di sumur SUT-1 yang blow-out pada tanggal 03 November
1983, dia mengatakan dalam hal melakukan pengeboran (tajak) sumur migas
kita harus lebih dahulu mempelajari dan paham betul tentang “tingkah
laku” sumur migas ataupun mengenai lapisan struktur yang akan kita
tajak. Sebab kalau kita kurang berhati-hati, akibatnya akan jadi fatal.
Kepada
penulis Soegianto menjelaskan sumur migas itu seperti seekor kucing
liar yang berbulu bagus, mengkilat, halus dan tebal sehingga ingin
rasanya tangan kita untuk mengelusnya. Akan tetapi kalau kita salah
colek, dia akan mengambek dan bahkan dapat mengamuk serta mencakar siapa
saja yang berada didekatnya. Sedangkan untuk menjinakkannya kembali
diperlukan keberanian yang menegangkan urat saraf.
“Sumur yang
sudah uzur sekalipun bahkan yang sudah sekarat terkadang dapat mengamuk
dan membuat kita kewalahan,” kata Soegianto pada penulis di lokasi
blow-out SUT-1 (Susu Timur Satu) 33 tahun lalu (1983-2016).
Apa
yang dikatakan Soegianto memang tidak dapat dibantah kebenarannya.
Contohnya sudah terjadi di sumur tua PT-18 yang berada di struktur Paluh
Tabuhan Timur, Desa Lubuk Kertang, Kecamatan Brandan Barat, dan di
Struktur Pulau Panjang, Kecamatan Pangkalansusu, Kabupaten Langkat,
Provinsi Sumatera Utara pada 30 September 2016 lalu.
Sumur PT-18
yang sudah berusia 26 tahun (1974-2000) dan sudah ditinggalkan sejak
tahun 1983, ketika dilakukan pekerjaan reparasi (work over) oleh
Pertamina EP Pangkalansusu guna penelitian dan pengembangan pada zone
850 dengan mempergunakan perabot bor BIR-100 Hoist milik Pertamina
tiba-tiba telah terjadi aliran semburan liar gas berkekuatan sekitar
1,100 psi, sehingga membuat para pekerja BIR-100 berhamburan untuk
menyelamatkan diri dari kemungkinan terjadinya hal-hal yang tidak
diinginkan, misalnya kebakaran.
Menurut keterangan yang diperoleh
dari Ka. Operasi KKAF Pertamina EP Pangkalansusu Daryono dan stafnya,
Saleh Indra, sebelum terjadinya blow-out terlebih dahulu dilakukan
pelubangan pada sumur PT-18 di zone 850 selang 819-820 meter dengan
casing gun 12 TPK melalui sistem tandem tiga kali penembakan per 4 TPK.
Ketika
dilakukan penembakan satu tandem pertama (4 TPK) pada tanggal 27 April
2000 pukul 08:50 WIB kondisi sumur masih aman. Selanjutnya dilakukan
penembakan tandem kedua (8 TPK) sekitar pukul 09:15 WIB terjadi aliran
gas yang sangat kuat ssehingga usaha untuk mencabut alat logging service
tidak berhasil.
Tindakan selanjutnya yaitu usaha untuk menutup
BOP (Blow Out Preventer) juga tidak berhasil dan aliran gas sudah tidak
terkendali lagi.
Begitu menerima laporan bahwa sumur PT-18 yang
direparasi sejak 26 April 2000 telah menyemburkan gas liar yang sudah
tidak dapat terkendali lagi, maka para pejabat teras di Pertamina EP
Pangkalansusu yang dipimpin langsung oleh Manager Asset, Ir.H.Slamet
Wibisono segera menuju ke lokasi kejadian untuk mencari jalan keluar
menjinakkan blow out tersebut.
Menurut Slamet, berdasarkan
penggalamannya yang pernah menangani peristiwa blow-out dan kebakaran di
sumur CMB-10 (wilayah DO.EP Karangampel-Jawa Barat) pada 17 Oktober
1992, maka semburan liar gas di sumur PT-18 harus segera diatasi.
“Mengingat
semburan liar gas tersebut ada membawa pasir lepas yang satu saat bisa
menimbulkan bunga api dan ditambah lagi suplai air di lokasi itu sangat
terbatas, kalau dalam waktu 12 jam semburan itu tidak segera diatasi
maka dikawatirkan nasibnya akan sama dengan kejadian sumur CMB-10,” kata
Slamet pada penulis di lokasi kejadian waktu itu.
Tindakan awal
yang dilakukan oleh Slamet Wibisono yaitu melakukan koordinasi dengan
bagian terkait untuk membentuk Tim Penanggulangan Blow Out yang terdiri
dari bagian KKAF, Produksi, LL/KK dan Log/Ang.
Setelah semua
rencana kerja dibahas dengan teliti dan matang, maka diputuskan upaya
penanggulangan blow-out dilakukan dengan metoda “capping” yaitu memasang
penutup langsung di atas sumur yang sedang menyemburkan gas liar.
Sedangkan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya kebakaran, Tim
PSLG (Penanggulangan Semburan Liar Gas) segera memompakan air asin ke
dalam sumur PT-18 melalui pipa yang berada di bawah BOP group.
Pemompaan
air asin dengan rate 1 sampai 3 bpm dan tekanan sekitar 100 psi secara
terus menerus ke sumur PT-18 agar gas yang ke luar dari dalam sumur
tetap dalam keadaan basah dan tidak mudah terbakar.
Selanjutnya
ketika bahaya kebakaran di sumur PT-18 sudah dapat diantisipasi, maka
upaya untuk mematikan semburan liar segera dilaksanakan dengan cara
memasang rangkaian kerangan (capping assembly) di atas BOP 7 1/16 inci x
3000 psi yang didahulukan dengan membuka aliran ke cerobong pembakaran
(flare) melalui annulus valve. Maksudnya adalah untuk mengurangi tekanan
balik (back pressure) pada saat pemasangan valve di atas BOP Group.
Secara
perlahan tapi pasti, setelah kerangan berhasil dipasang di atas BOP
dengan kekar, maka master valve dan aliran pada annulus ditutup.
Selamatlah sumur PT-18 dari blow-out yang berkelanjutan dan kekawatiran
terhadap kebakaran juga tidak terjadi. Musibah blow out yang terjadi
pada 27 April 2000 pukul 09:15 WIB itu berakhir tepat pada pukul 17:30
WIB di hari yang sama.
Menurut pendapat penulis penanganan blow
out sumur migas PT-18 itu adalah merupakan upaya penanggulangan blow-out
tercepat dalam catatan penulis, yaitu hanya delapan jam.